Meninggalkan Shalat Sunnah dalam Safar
Meninggalkan Shalat Sunnah dalam Safar merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 29 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Meninggalkan Shalat Sunnah dalam Safar
Namun, shalat sunnah rawatib tidak disyariatkan dalam safar, kecuali qabliyah subuh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan qabliyah subuh, baik dalam keadaan mukim maupun safar.
Mengapa shalat sunnah rawatib tidak disyariatkan dalam safar? Alasannya, shalat wajib dalam safar saja diqashar. Maka, ketika shalat wajib diringankan, shalat sunnah rawatib pun tidak lagi disyariatkan. Akan tetapi, jika seseorang shalat di belakang imam yang mukim, ia wajib melaksanakan shalat secara sempurna (tidak diqahsar), sesuai ijma ulama. Misalnya, ketika seseorang sedang umrah dan shalat di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram di belakang imam yang mukim, tidak boleh mengqashar shalat.
Dalam keadaan seperti ini, sebagian ulama berpendapat bahwa shalat sunnah rawatib disyariatkan kembali. Alasannya, illat (sebab hukum) meninggalkan shalat sunnah rawatib adalah karena mengqasar shalat wajib. Ketika shalat wajib tidak diqashar, maka illat tersebut hilang. Sesuai kaidah ushul fikih: “Hukum itu mengikuti illat-nya; jika illat ada, hukum ada, dan jika illat hilang, hukum juga hilang.”
Dari Hafsh bin Ashim, ia berkata: “Aku pernah menyertai Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu dalam perjalanan ke Makkah. Dia shalat Dzuhur bersama kami sebanyak dua rakaat. Kemudian dia pergi, dan kami pun pergi bersamanya hingga sampai ke tempat peristirahatannya. Dia duduk, dan kami pun duduk bersamanya. Tiba-tiba dia menoleh ke arah tempat dia shalat, dan dia melihat ada beberapa orang sedang shalat. Dia berkata, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Aku menjawab, ‘Mereka sedang mengerjakan shalat sunnah.’ Dia berkata, ‘Seandainya aku mengerjakan shalat sunnah, tentu aku akan menyempurnakan shalatku. Wahai anak saudaraku, aku pernah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam safar, dan beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah menyertai Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, dan dia tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah menyertai Umar Radhiyallahu ‘Anhu, dan dia tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya. Kemudian aku juga pernah menyertai Utsman Radhiyallahu ‘Anhu, dan dia tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya. Dan sungguh Allah Ta’ala telah berfirman: ‘Sungguh telah ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam teladan yang baik bagimu.’” (HR. Muslim)
Pada hadits ini Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu mengingkari orang-orang yang melaksanakan shalat sunnah rawatib saat safar. Ia berhujah bahwa dirinya telah menemani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama safar dan tidak pernah melihat beliau melaksanakan shalat sunnah rawatib. Ibnu Umar juga menemani Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan mereka pun tidak pernah melaksanakan shalat sunnah rawatib dalam safar.
Adapun Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa saat berhaji, ia menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat. Hal ini diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Perlu diingat, Utsman hanya menyempurnakan shalatnya ketika haji, sedangkan dalam safar lain, ia tetap melaksanakan shalat dua rakaat (mengqashar).
Para ulama menyebutkan alasan Utsman menyempurnakan shalatnya ketika haji. Sebagian berpendapat bahwa Utsman berniat mukim, sehingga ia tidak mengqashar. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa Utsman sengaja tidak mengqasar shalatnya untuk menghindari kesalahpahaman dari orang-orang awam yang baru mengenal Islam. Jika Utsman mengqashar, dikhawatirkan mereka akan salah memahami bahwa shalat Dzuhur dan Ashar hanya dua rakaat. Oleh karena itu, Utsman menyempurnakan shalat menjadi empat rakaat sebagai bentuk pengajaran, agar tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar.
Tindakan Utsman ini adalah bentuk ijtihad, dan ijtihad seperti ini dapat diterima secara syariat. Abdullah bin Mas’ud, meskipun mengingkari tindakan Utsman, tetap melaksanakan shalat empat rakaat di belakang Utsman. Ketika ditanya mengapa ia tetap melaksanakannya, padahal ia tidak setuju, Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Menyelisihi imam itu buruk.”
Pernyataan Abdullah bin Mas’ud ini dijadikan hujah oleh para ulama, seperti Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa jika terjadi perbedaan ijtihad antara makmum dan imam dalam masalah gerakan shalat, maka makmum tetap dianjurkan mengikuti imam. Misalnya, jika seseorang berpendapat bahwa setelah mengucapkan sami’allahu liman hamidah ia harus bersedekap, tetapi imamnya berpendapat tangan harus lurus, maka tinggalkan pendapat kita dan ikuti pendapat imam. Hal ini berdasarkan perbuatan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Dari hadits ini, terdapat beberapa faedah yang dapat diambil.
Faedah pertama: Keistimewaan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu sebagai sahabat yang sangat kuat dalam ittiba’ (mengikuti) sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abdullah bin Umar sangat teliti dalam meneladani segala perbuatan Rasulullah, bahkan dalam perkara yang tidak dianjurkan untuk umatnya. Contohnya, suatu ketika Ibnu Umar sedang dalam perjalanan. Ketika ia teringat bahwa Rasulullah pernah kencing di tempat itu, Ibnu Umar pun kencing di tempat yang sama. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ittiba’ Abdullah bin Umar kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Faedah kedua: Hadits ini menunjukkan bahwa seorang musafir sangat ditekankan untuk mengqashar shalat. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa mengqashar shalat hukumnya wajib. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan:
- Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah sekalipun melaksanakan shalat secara sempurna (empat rakaat) ketika safar.
- Dalam hadits, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Pertama kali shalat diwajibkan adalah dua rakaat-dua rakaat. Kemudian shalat safar ditetapkan tetap dua rakaat, sedangkan shalat bagi yang tidak safar ditambah menjadi empat rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut ulama yang mewajibkan qashar shalat, hal ini berarti bahwa shalat kembali kepada asalnya, yaitu dua rakaat.
Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa qashar shalat hukumnya sunnah, bukan wajib. Alasannya, Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu diketahui tidak mengqashar shalat ketika safar. Selain itu, qashar shalat merupakan rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah, sehingga mengambilnya tidak diwajibkan, tetapi merupakan keutamaan.
Faedah ketiga: Seorang alim, ketika mengingkari perbuatan atau menetapkan suatu pendapat, wajib membawakan dalil. Hal ini dicontohkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika beliau mengingkari orang-orang yang melaksanakan shalat sunnah lebih dari dua rakaat saat safar, Ibnu Umar berhujah dengan dalil. Beliau berkata:
“Aku pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat. Aku juga pernah safar bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan mereka pun demikian.”
Hadits ini menunjukkan pentingnya membawakan dalil agar orang awam dapat belajar memahami dasar hukum suatu perbuatan. Jangan hanya mengajarkan taklid, yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Sebagaimana dikatakan Imam As-Suyuthi, “Taklid bukanlah ilmu.” Berbeda dengan ittiba’, yang berarti mengikuti seseorang dengan mengetahui dalil dan hujahnya.
Orang awam berhak meminta dalil kepada seorang alim. Tidak sepatutnya seorang alim merasa tersinggung ketika diminta dalil. Sebaliknya, ia harus mengajarkan bahwa agama ini adalah agama yang ilmiah, bukan sekadar ikut-ikutan atau taklid buta. Jelaskan dalil, hujah, dan pendapat ulama agar orang awam paham.
Sebagai penuntut ilmu, kita pun harus kritis dan ilmiah. Jangan puas hanya dengan penjelasan yang disampaikan ustaz. Cari tahu dalilnya, siapa ulama yang berpendapat, dan bagaimana pemahaman dalil tersebut. Dengan cara ini, keilmuan kita akan semakin meningkat.
Faedah kelima: Perbuatan Khulafaur Rasyidin termasuk hujah. Karena pada hadits ini, Ibnu Umar bukan hanya berhujah dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi juga membawakan perbuatan Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Lihat: Hadits Arbain 28 – Mendengar dan Taat Kepada Penguasa
Hadits ini menunjukkan bahwa selain sunnah Rasulullah, sunnah Khulafaur Rasyidin juga merupakan pedoman yang harus dipegang. Banyak perkara yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin yang sampai sekarang menjadi sunnah bagi umat Islam.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54834-meninggalkan-shalat-sunnah-dalam-safar/